Aliran Mu’tazilah adalah golongan
yang membawa persoalan-persoalan teologi yang lebih mendalam dan bersifat
filofofis daripada persoalan-persoalan yang dibawa kaum Khowarij dan Murji’ah.
Dalam pembahasan, mereka banyak memakai akal sehingga mereka mendapat nama
“Kaum Rasionalis Islam”.
Aliran ini muncul di kota Bashrah
(Iraq) pada abad ke 2H tahun 105 – 110 H, tepatnya pada masa pemerintahan
khalifah Abdul Malik Bin Marwan dan khalifah Hisyam Bin Abdul Malik. Pelopornya
adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama
Washil bin Atha’Al-Makhzumi Al-Ghozzal.
Munculnya aliran Mu’tazilah sebagai
reaksi atas pertentangan antara aliran Khawarij dan aliran Murjiah mengenai
soal orang mukmin yang berdosa besar. Menurut orang Khawarij, orang mukmin yang
berdosa besar tidak dapat dikatakan mukmin lagi, melainkan sudah menjadi kafir.
Sementara itu, kaum Murjiah tetap menganggap orang mukmin yang berdosa besar
itu sebagai mukmin, bukan kafir. Menghadapi kedua pendapat yang kontroversial
ini, Wasil bin Atha' yang ketika itu menjadi murid Hasan Al-Basri, seorang
ulama terkenal di Basra, mendahalui gurunya mengeluarkan pendapat bahwa orang
mukmin yang berdosa besar menempati posisi antara mukmin dan kafir. Tegasnya
orang itu bukan mukmin dan bukan pula kafir, tetapi di antara keduanya. Oleh
karena di akhirat nanti tidak ada tempat di antara surga dan neraka, maka orang
itu dimasukkan ke dalam neraka, tetapi siksaan yang diperolehnya lebih ringan
dari siksaan orang kafir.
Berdasarkan latar belakang di
atas, maka yang menjadi rumusan masalahnya adalah sebagia berikut :
1.
Bagaimana
asal-usul kemunculan Mu’tazilah?
2.
Bagaimana
penanaman aliran Mu’tazilah?
3.
Siapa
tokoh-tokoh aliran Mu’tazilah?
4.
Bagaimana
ajaran aliran Mu’tazilah?
1.
Untuk
mengetahui asal-usul munculnya Mu’tazilah
2.
Untuk
mengetahui asal-usul penamaan Mu’tazilah
3.
Untuk
mengetahui ajaran aliran Mu’tazilah
4.
Untuk
mengetahui tokoh-tokoh aliran Mu’tazilah
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Asal-Usul
Kemunculan Mu’tazilah
Secara harfiah kata Mu’tazilah berasal dari i’tazala yang berarti berpisah atau
memisahkan diri, yang berarti juga menjauh atau menjauhkan diri. Secara teknis,
istilah Mu’tazilah menunjuk pada
golongan.[1]
Sejarah munculnya aliran mu’tazilah
oleh para kelompok pemuja dan aliran mu’tazilah tersebut muncul di kota Bashrah
(Iraq) pada abad ke 2 Hijriyah, tahun 105 – 110 H, tepatnya pada masa
pemerintahan khalifah Abdul Malik Bin Marwan dan khalifah Hisyam Bin Abdul
Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan
Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzal, kemunculan ini
adalah karena Wasil bin Atha’ berpendapat bahwa muslim berdosa besar bukan
mukmin dan bukan kafir yang berarti ia fasik. Imam Hasan al-Bashri berpendapat
mukmin berdosa besar masih berstatus mukmin. Inilah awal kemunculan paham ini
dikarenakan perselisihan tersebut antar murid dan Guru, dan akhirnya golongan
mu’tazilah pun dinisbahkan kepadanya. Sehingga kelompok Mu’tazilah semakin
berkembang dengan sekian banyak sektenya. kemudian para dedengkot mereka
mendalami buku-buku filsafat yang banyak tersebar di masa khalifah Al-Makmun.
Maka sejak saat itulah manhaj mereka benar-benar diwarnai oleh manhaj ahli
kalam (yang berorientasi pada akal dan mencampakkan dalil-dalil dari Al Qur’an
dan As Sunnah).
Golongan pertama (selanjutnya
disebut Mu’tazilah I) muncul sebagai
respon politik murni. Golongan ini tumbuh sebagai kaum netral politik,
khususnya dalam arti bersikap lunak dalam menangani pertentangan antara Ali bin
Abi Thalib dan lawan-lawannya, terutama Mu’awiyah, Aisyah dan Abdullah bin
Zubair.
Golongan kedua (selanjutnya disebut Mu’tazilah II) muncul sebagai respon
persoalan teologis yang berkembang di kalangan Khawarij dan Murji’ah
akibat adanya peristiwa tahkim. Golongan ini muncul karena mereka berbeda
pendapat dengan golongan Khawarij dan
Murji’ah tentang pemberian status
kafir pada golongan orang yang berbuat dosa besar.[2]
Beberapa versi tentang pemberian nama Mu’tazilah kepada golongan kedua ini
berpusat pada peristiwa yang terjadi antara Washil bin Atha’ serta temannya,
Amr bin Ubaid, dan Hasan Al-Bashri di Bashrah. Ketika Washil mengikuti
pelajaran yang diberikan oleh Hasan Al Bashri di masjid Bashrah., datanglah
seseorang yang bertanya mengenai pendapat Hasan Al Bashri tentang orang yang
berdosa besar. Ketika Hasan Al Bashri masih berpikir, Washil mengemukakan
pendapatnya dengan mengatakan “Saya berpendapat bahwa orang yang berbuat
dosa besar bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, tetapi berada pada posisi
diantara keduanya, tidak mukmin dan tidak kafir.” Kemudian Washil
menjauhkan diri dari Hasan Al Bashri dan pergi ke tempat lain di lingkungan
masjid. Di sana Washil mengulangi pendapatnya di hadapan para pengikutnya.
Dengan adanya peristiwa ini, Hasan Al Bashri berkata: “Washil menjauhkan diri
dari kita (i’tazaala anna).” Menurut Asy-Syahrastani, kelompok yang memisahkan
diri dari peristiwa inilah yang disebut kaum Mu’tazilah.
B.
Penamaan Mu’tazilah
Riwayat tentang asal-usul sebutan Mu’tazilah ada
tiga, yang kesemuanya berkisar sekitar arti i’tazala yang artinya memisahkan
diri, menjauhkan diri atau menyalahi pendapat orang lain. Ada beberapa teori
kenapa aliran ini dinamakan Mu’tazilah, yaitu :
1.
Washil
bin ‘Atha dan ‘Amr bin ‘Ubaid menjauhkan diri (keluar) dari pengajian Hasan
Basri di Mesjid Basrah kemudian membentuk pengajian sendiri, sebagai kelanjutan
pendapatnya bahwa orang yang mengerjakan dosa besar tidak mukmin,
2.
Kelompok
Mu’tazilah menjauhkan atau menyalahi semua pendapat yang ada tentang orang yang
mengerjakan dosa besar.
3.
Pendapat
mereka yang mengatakan bahwa pembuat dosa besar berarti menjauhkan diri dari
golongan ornag-orang mukmin dna juga golongan orang-orang kafir.[3]
Berbagai
analisa yang dimajukan tentang pemberian nama Mu’tazilah kepada mereka. Uraian
yang bisa disebut buku-buku ‘ilm al-Kalam berpusat pada peristiwa yang terjadi
antara Wasil ibn ‘Ata’ serta temannya ‘Amr bin ‘Ubaid dan Hasan al-Basri di
Basrah. Wasil selalu mengikuti pelajaran-pelajaran yang diberikan Hasan
al-Basri di masjid Basrah. Pada suatu hari datang seorang bertanya mengenai
pendapatnya tentang orang yang berdosa besar. Sebagaimana diketahui kaum
Khawarij memandang mereka kafir sedang kaum murji’ah memandang mereka mukmin.
Ketika Hasan al-Basri masih berfikir, Wasil mengeluarkan pendapatnya sendiri
dengan mengatakan: “Saya berpendapat bahwa orang yang berdosa besar bukanlah
mukmin dan bukan pula kafir, tetapi mengambil posisi diantara keduanya; tidak
mukmin dan tidak kafir”. Kemudian ia berdiri dan menjauhkan diri dari Hasan
al-Basri pergi ke tempat lain di masjid; disana ia mengulangi pendapatnya kembali.
Atas peristiwa ini Hasan al-Basri mengatakan: “Wasil menjauhkan diri dari
kita (i’tazala’ anna)”. Dengan demikian ia serta
teman-temannya, kata al-Syahrastani, disebut kaum Mu’tazilah.[4]
Al-Mas’udi
memberikan keterangan lain lagi, yaitu dengan tidak mempertalikan pemberian
nama itu dengan peristiwa pertikaian paham antara Wasil dan ‘Amr dari satu
pihak dan Hasan al-Basri daripihak lain. Mereka disebut kaum Mu’tazilah karena
mereka berpendapat bahwa orang berdosa besar bukan mukmin dan bukan juga kafir,
tetapi mengambil posisi diantara kedua posisi itu (al-Manzilah bain
al-Manzilatain). Menurut versi ini mereka disebut kaum Mu’tazilah,
karena mereka membuat orang yang berdosa besar jauh dari (dalam arti tidak
masuk) golongan mukmin dan kafir.
Dengan
demikian golongan Mu’tazilah pertama ini mempunyai corak politik. Dan dalam
pendapat Ahmad Amin, Mu’tazilah kedua yaitu golongan yang ditimbulkan Wasil,
juga mempunyai corak politikkarena mereka sebagai kaum Khawarij dan kaum
Murji’ah. Perbedaan antara keduanya ialah bahwa Mu’tazilah kedua menambahkan
persoalan-persoalan teologi dan falsafat ke dalam ajaran-ajaran dan pemikiran
mereka.
C.
Tokoh-Tokoh
Aliran Mu’tazilah
Tokoh-tokoh aliran Mu’tazilah banyak
jumlahnya dan masing-masing memiliki pemikiran yang berbeda dengan tokoh-tokoh
yang lainnya, sehingga masing-masing tokoh punya aliran sendiri-sendiri. [5] Dari segi geografis
Mu’tazilah dibagi menjadi 2
yaitu aliran mu’tazilah Bashrah dan aliran mu’tazilah Baghdad. Aliran
Bashrah lebih dahulu munculnya, lebih banyak mempunyai kepribadian sendiri dan
yang pertama- tama mendirikan aliran mu’tazilah. perbedaan antara kedua aliran
mu’tazilah tersebut pada umumnya disebabkan karena situasi geografis dan
kulturil.
Tokoh-
tokoh aliran Bashrah antara lain:
1.
Washil bin ‘Atha’ ( 80-131 H/ 699-748 M)
Terkenal sebagai pendiri aliran mu’tazilah dan kepalanya yang pertama. Ia
pula yang terkenal sebagai orang yang meletakkan lima prinsip dasar.
2.
Al-‘Allaf ( 135-226 H/ 752-840 M)
Nama lengkapnya adalah Abdul Huzail Muhammad bin Al-Huzail Al-‘allaf.
puncak kebesarannya dicapainya pada masa khalifah Al-Ma’mun, karena khalifah
ini pernah menjadi muridnya dalam perdebatan mengenai soal agama. Menurut
riwayat pada tiga ribu orang yang masuk islam di tangannya. Ia banyak berhubungan
dengan filosof- filosof dan buku- buku filsafat.
3.
An-Nazham ( wafat 231 H/ 845 M)
Nama lengkapnya adalah Ibrahim bin Sayyar bin Hani An-Nazham. Ia merupakan
tokoh mu’tazilah yang terkemuka, lancar bicara, dan banyak mendalami filsafat.
Ia sangat bebas berpikir dan berani menyerang ahli hadis karena tidak banyak
percaya pada kesahihan hadis-hadis. Karena ia sangat menjunjung Al-Qur’an.
4.
Al-Jubbai (wafat 303 H/ 915 M)
Nama lengkapnya adalah Abu Ali Muhammad bin Ali Al-Jubbai, tokoh mu’tazilah
basrah dan murid as-Syahham. Al-Jubbai dan anaknya yaitu Abu Hasim Al-Jubbai
mencerminkan akhir masa kejayaan aliran mu’tazilah.
Tokoh-
tokoh aliran Baghdad antara lain:
1.
Bisjr bin Al-Mu’tamir (wafat 226 H/ 840 M)
Ia memiliki pandangan mengenai kesusastraan. Ia adalah orang yang pertama
kali mengemukakan soal “tawallud” (reproduction) yang boleh jadi dimaksudkan
untuk mencari batas-batas pertanggungan jawab manusia atas perbuatannya.
2.
Al-Chayyat (wafat 300 H/ 912 M)
Nama lengkapnya adalah Abu
al-Husein Al-Khayyat. ia adalah pengarang buku “al-Intisar” yang dimaksudkan
untuk membela aliran mu’tazilah.
3.
Al-Qadhi Abdul Jabbar (wafat 1024 M)
Ia mengulas tentang pokok-pokok ajaran aliran mu’tazilah, terdiri dari
beberapa jilid dan banyak dikutip oleh as-Syarif al Murtadha.
4.
Az-Zamaihsyari (467-538 H/ 1075-1144M)
Nama lengkapnya adalah Jar Allah Abul Qasim Muhammad bin Umar. Selama
hidupnya ia banyak mengadakan perlawatan dari negeri kelahirannya menuju
Baghdad, kemudian ke Makkah untuk bertempat di sana beberapa tahun dan akhirnya
menghembuskan nafas terakhirnya di Jurjan (Persi-Iran). Ia menjadi tokoh dalam
ilmu tafsir, nahwu, dan paramasastera (lexicology).
D.
Ajarah-Ajaran Aliran Mu’tazilah
Abu huzail Al-Allaf, merumuskan lima
prinsip pokok-pokok ajaran mu’tazilah antara lain :
1)
At-Tauhid (Keesaan Allah)
Ar-Tauhid adalah prinsip dan dasar
pertama dan yang paling utama dalam aqidah islam. Dengan demikian prinsip ini
bukan hanya milik mu’tazilah, melainkan milik semua umat islam. Akan tetapi
mu’tazilah lebih mengkhususkannya lagi kedalam empat beberapa pendapat
diantaranya :
a)
Menafikan
sifat-sifat Allah.
Dalam hal ini mu’tazilah tidak
mengakui adanya sifat pada allah. Apa yang dipandang orang sebagai sifat bagi
mu’tazilah tidak lain adalah Dzat allah itu sendiri, dalam artian allah tidak
mempunyai sifat karena yang mempunyai sifat itu adalah makhluk. Jika tuhan
mempunyai sifat berarti ada dua yang qadim yaitu dzat dan sifat sedangkan allah
melihat, mendengar itu dengan dzatnya bukan dengan sifatnya.[6]
b)
Al-Qur’an
adalah makhluk.
Dikatakan makhluk karena al-Qur’an
adalah firman dan tidak qadim dan perlu diyakini bahwa segala sesuatu selain
allah itu adalah makhluk.
c)
Allah
tidak dapat dilihat dengan mata.
Karena allah adalah dzat yang ghaib,
dan tidak mungkin dapat dilihat dengan mata akan tetapi kita harus meyakininya
dengan keyakinan yang pasti.
d)
Berbeda
dengan makhluknya (Mukhalafatuhu lilhawadist)
2)
Al-‘Adl (Keadilan Tuhan)
Prinsip ini mengajarkan bahwa, allah
tidak menghendaki keburukan bagi hambanya, manusia sendirilah yang menghendaki
keburukan itu. Karena pada dasarnya manusia diciptakan dalam keadaan fitrah
(Suci). Hanya dengan kemampuan yang diberikan Tuhanlah, manusia dapat melakukan
yang baik. Karena itu, jika ia melakukan kejahatan, berarti manusia itu
sendirilah yang menghendaki hal tersebut. Dari prinsip inilah, timbul ajaran
mu’tazilah yang dikenal dengan nama Al-Shalah Wa Al-Ashlah, artinya
allah hany menghendaki sesuatu yang baik, bahkan sesuatu terbaik untuk
kemaslahatan manusia.
3)
Al-Wa’d Wa-Al-Wai’d (Janji baik dan ancaman)
Dalam hal ini Allah menjanjikan akan
memberikan pahala kepada orang yang berbuat baik dan akan menyiksa kepada orang
yang berbuat jahat. Janji ini pasti dipenuhi oleh tuhan karena Allah tidak akan
ingkar terhadap janjinya. Dalam prinsip ini mu’tazilah menolak adanya syafa’at
atau pertolonagn dihari kiamat. Sebab syafaat bertentangan dengan janji tuhan.
4)
Al-Manzilah Bain Al-Manzilatain (Posisi diantara dua
posisi)
Pendapat ini dikemukakan oleh Washil
Bin Atha’ dan merupakan pendapat yang pertama dari aliran mu’tazilah. Menurut
ajaran ini, seorang muslim yang melakukan dosa besar dan tidak sempat bertaubat
kepada allah SWT maka ia tidaklah mukmin dan tidak pula kafr. Ia berada
diantara keduanya. Dikatakan tidak mukmin karena ia melakukan dosa besar dan
dikatakan tidak kafir karena ia masi percaya kepada allah dan berpegang teguh
pada dua kalimat syahadat. Dengan demikian Washil bin atha’ menyebutnya sebagai
orang fasiq.
5)
Amar Makruf dan Nahi munkar.
Prinsip ini menitik beratkan kepada
permasalahan hukum fiqh, bahwa amar makruf dan nahi munkar harus ditegakkan dan
wajib dilaksanakan. Kaum mu’tazilah sangat gigih melaksanakan prinsip ini,
bahkan pernah melakukan kekerasan demi amar makruf dan nahi munkar.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Secara harfiah kata Mu’tazilah
berasal dari i’tazala yang berarti berpisah atau memisahkan diri, yang berarti
juga menjauh atau menjauhkan diri. Secara teknis, istilah Mu’tazilah menunjuk
pada golongan
Sejarah munculnya aliran mu’tazilah
oleh para kelompok pemuja dan aliran mu’tazilah tersebut muncul di kota Bashrah
(Iraq) pada abad ke 2 Hijriyah, tahun 105 – 110 H
Dari segi geografis Mu’tazilah dibagi menjadi 2 yaitu aliran mu’tazilah
Bashrah dan aliran mu’tazilah Baghdad. Aliran Bashrah lebih dahulu munculnya,
lebih banyak mempunyai kepribadian sendiri dan yang pertama- tama mendirikan
aliran mu’tazilah.
B. Saran
Dalam menyusun makalah ini penulis menyadari bahwa masih banyak terdapat
kekurangan dan kelemahan. Oleh karena itu penulis menyarankan kepada pembaca
agar memberikan kritikan dan saran yang membangun demi kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Rosihon
Anwar dan Abdul Rozak, Ilmu Kalam,
Bandung: CV. Pustaka Setia, 2006
Nasution
Harun. Teologi Islam, Jakarta: UI-Press, 2013
Mulyadi,
Aqidah Akhlak Madrasah Aliyah, Semarang: PT. Toha Putra, 2007
Abdul
Razak, M. Ilmu Kalam, Bandung: Pustaka Setia, 2009
Nasir
Sahilun, Pengantar Ilmu Kalam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996
Tidak ada komentar:
Posting Komentar